Magister Manajemen Agribisnis (MMA UGM) kembali mengadakan kuliah tamu pada 4 Maret 2024 dengan judul “Community Farming in Japan” yang mengulas mengenai community dan contract farming dengan pembicara Prof. Tsuyoshi Sumita sebagai Prof Major Farm Business Management dari Tohoku University.
Prof. Tsuyoshi, yang akrab dikenal Tsuyoshi-sensei, menjelaskan pengertian dari community farming, perbedaan community farming dengan contract farming, dan sejarah hingga keberlanjutannya di Jepang. Kondisi pertanian di Jepang dan Indonesia memiliki kemiripan masalah mengenai usia petani yang dominan sudah berusia lanjut yaitu rerata 65 tahun dan rendahnya minat generasi muda untuk terjun kedalam sektor pertanian.
Sejarah community farming di Jepang bermula dari kekurangan tenaga kerja saat proses budidaya, kondisi ini membuat antar rumah tangga petani saling melengkapi dengan melakukan pertukaran tenaga kerja yang setara (community relationship “Yu”). Sistem dalam community farming di Jepang yaitu sistem kerjasama dari menjadi suatu bagian dari keseluruhan proses produksi yang dilakukan oleh petani di dalam suatu komunitas (desa). Kelebihan dari contract farming di Jepang yaitu petani dapat memiliki akses dalam menggunakan alsintan, terkoordinasinya proses budidaya dan perputaran keuangan. Hasil dari produksi pertanian kemudian dipasarkan secara kolektif melalui koperasi. Lebih lanjut, terdapat kesepakatan dan norma yang harus ditaati seperti apabila petani yang sudah tergabung dalam community farming tidak melakukan sesuai tugasnya maka harus membayar sejumlah kompensasi kepada komunitas.
Community farming di Jepang menjadikan inspirasi bagi sistem pertanian pedesaan di Indonesia agar dapat terkoordinasi dan mencapai efisiensi utamanya dari segi biaya. Indonesia memiliki peluang yang besar untuk dapat mewujudkan sistem yang hampir serupa dengan community farming, karena memiliki modal sosial yang kuat.